google.com |
Sambil menunggu di dokter gigi, ngobrol dengan suster atau perawat yang dulunya berprofesi sebagai suster untuk anak dokternya.
Analisa obrolan singkat itu sungguh membawa saya kepada kesimpulan bahwa anak tunggal dari dokter gigi ini , hubungannya lebih dekat secara emosi dibandingkan dengan ibunya sendiri.
Kenapa? Suster ini selalu memperhatikan penuh semua kebutuhan emosi dari anak majikannya. Nyaris dia menjadi pengganti ibunya sendiri. Saya sendiri tidak mengerti mengapa ibunya tak memperhatikan anaknya. Apakah ini karena tidak ada waktu atau kualitas waktu yang disediakan hanya terbatas formil saja.
Nyarisnya, ketika anak tunggal ini akan menikah, dan suster ini sebenarnya sudah pulang kampung, tetapi anak ini minta kepada ibunya agar menjemput suster untuk hadir dalam pernikahannya sebagai salah satu orangtua angkat.
Cerita-cerita ini banyak dijumpai di Singapore, dimana survey yang dihasilkan menyatakan bahwa 74% anak secara emosional lebih dekat dengan pembantu/suster daripada ibunya.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan.
Bagaimana memperbaiki kondisi ini:
1. Waktu yang berkualitas
Setiap ibu rumah tangga yang bekerja, harus menentukan pola asuh kepada anaknya dan diterapkan melalui perawatnya. Luangkan waktu sebelum dan sesudah bekerja dengan memperhatikan perkembangan emosi anak. Bermain, bernyanyi, bercerita, tergantung dair umur /usia anak itu sendiri. Kehadiran ibu merupakan aset atau hadiah bagi anak supaya hubungan emosi terbangun dengan kuat.
2. Hindari dan kurangi alat elektronik
Semua peralatan elektronik seperti gadget, laptop, IPAD, tablet,televisi dan lainnya harus dihindari . Waktu senggang dipakai untuk ngobrol santai, bercerita dan memantau tumbuh kembang anak apakah sesuai dengan standar atau tidak.
3. Menidurkan anak dengan bercerita
Untuk anak balita, ibu dapat menidurkan anak dengan menghantar cerita anak yang menarik. Cerita yang mempunyai keteladanan atau nilai hidup yang membangun karakter. Anak juga dapat membangun dunia impian karena anak balita masih punya angan-angan diluar batas nalar.
4. Latihan emosi anak untuk balita
Untuk balita , ibu dapat melatih expresi atau emosi anak dengan membiarkan rasa jengkel, marah. Dalam melatih kesadaran diri anak terhadap emosi yang sedang dirasakannya, frekuensi berkomunikasi antara orangtua dan anak mengenai emosi sangat penting. Bila orangtua sering mengajak anak berbincang tentang emosi, anak akan lebih terbantu mengenal emosinya sendiri. Latihan akan lebih efektif bila diikuti dengan pengenalan tanda fisik yang menyertai emosi. Proses ini juga menjadi proses belajar bagi anak dalam mengembangkan kemampuannya untuk mengekspresikan perasaannya lewat kata-kata. Ini menjadi bagian penting dalam tahap perkembangan kemampuan bahasanya, terutama untuk mengekspresikan perasaannya secara tepat. Sebaiknya orangtua mendampingi anak saat ia salah mengartikan ekspresi emosi atau perasaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar