Dilematisnya sebagai ibu yang bekerja
meninggalkan anakku kepada seorang tante yang
menjaganya. Saat itu anakku berumur 8 tahun, kelas III
SD, rasanya pagi itu semuanya sudah beres. Malam harinya sebelumnya , aku
telah menyiapkan segala peralatan sekolah anak, pagi harinya
mengecek kembali semua yang harus dibawanya, tak lupa menyiapkan sarapan.
Di sekolah anakku dilarang membawa handphone sama
sekali. Bahkan di rumah pun tak ada handphone karena pada saat itu
handphone belum populer. Yang ada hanya telpon rumah saja.
Saya bekerja dengan tenang dari pagi hingga sore
. Apalagi saat siang menjelang sore hari, ada meeting yang tak bisa ditinggalkan. Walaupun suara
handphone telah di “silent” terdengar getarannya. Sempat saya
mengintip sebentar. Dari rumah. Wah, tak mungkin
rasanya menjawab karena meeting itu tak boleh terganggu oleh persoalan
pribadi.
Pulang dari kantor, saya dengan rasa cape masuk
ke rumah. Melihat muka anak saya yang sangat cemberut, asam, saya
segera curiga apa yang terjadi dengan dirinya.
Terjadilah komunikasi yang membuatku sangat
“surprise” mendengarnya.
“Nak, apa yang terjadi dengan dirimu
hari ini?” tanya saya.
“Mamah, apakah tadi tidak mendengar suara
telponku?” setengah berbisik suaranya kepadaku.
“Dengar. Tapi mamah tidak bisa menjawab karena
mamah ada di ruang meeting. Tak boleh ke luar sama sekali!”, kataku.
“Tapi kenapa tidak telpon ke rumah setelah itu?”
tanyanya lebih lanjut.
“Maaf lupa”, jawabku singkat.
“Coba ceritakan apa yang ingin diceritakan kepada
mamah”, kataku.
“Tidak, percuma. Ketika aku
sedang butuh mamah, selalu mamah bilang sibuk, meeting lah,
lupalah. Sekarang tidak butuh lagi. Mamah egois!” katanya menangis.
Begitu mendengar kalimat itu,serasa mendengar
halilintar yang menggelegar. Saya terpekur, terkejut dan kaget
sekali. Kehadiranku ketika dibutuhkan sungguh suatu hal yang sangat
penting baginya. Aku merasakan kegetiran, ketidaknyaman serta
kegelisahan dimukanya.
Sadar bahwa arti “kehadiranku” pada waktu dan
momen yang tepat sangat penting baginya telah kulewatkan . Hanya kekecewaan
yang ada saat bertemu dengannya. Aku tak mendapatkan kesempatan
kedua kalinya.
Akhirnya, saya mulai instropeksi, aku berjanji
kepada diriku dan kepadanya “mamah akan selalu hadir di setiap saat engkau
butuh”. Komitmenku ini kupegang dan kubuktikan . Dengan
adanya komitmen itu dia merasakan kenyaman kembali. Hidupnya bersinar kembali
dan ada rasa dukungan yang memang nyata kuberikan kepadanya setiap waktu
diperlukannya.
Aku belajar ada lima macam “ketidakhadiran” ayah
atau ibu atau kedua orangtua. Yang pertama orangtua yang lebih sering
“meremehkan” atau tidak setuju terhadap pilihan anaknya daripada memberi
kesempatan anaknya untuk mandiri dan bertanggung jawab. Yang kedua anak
merasa hanya boleh mengikuti jalan yang sudah ditentukan orangtuanya sehingga
mereka merasa tak dianggap.
Yang ketiga orangtua yang sibuk mengumbar suasana
hatinya, entah itu sering marah-marah atau terus bersedih dan bersikap negatif
terhadap berbagai hal, juga akan membuat anak-anaknya memilih untuk mengubur
dalam-dalam perasaan mereka; mereka merasa tidak didengarkan orangtuanya.
Yang keempat, jenis ketidakhadiran adalah
orangtua yang mengalami kecanduan. Bukan hanya kecanduan obat, tetapi bentuk
lain seperti menonton sinetron, supersibuk bekerja. Yang kelima
adalah ketidak-adiran terbanyak adalah lewat gaya parenting yang serba
membolehkan atau yang tidak konsisten dan tidak membiarkan anak menanggung
konsekuensi atas perbuatannya sendiri.
Melalui “kehadiranku”, anak akan merasa
bertanggung jawab, dan percaya diri. Oleh karena itu, berikan
hadiah terbaik lewat kehadiran kita sebagai orangtua, lewat cinta tak
bersyarat dan kelekatan emosional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar