2 Februari 2015

Ketidak-Hadiran Orangtua



Dilematisnya sebagai ibu yang bekerja meninggalkan anakku kepada seorang  tante yang menjaganya.    Saat  itu anakku berumur 8 tahun, kelas III SD, rasanya pagi itu semuanya sudah beres.  Malam harinya sebelumnya , aku telah  menyiapkan segala peralatan sekolah anak,  pagi harinya mengecek kembali semua yang harus dibawanya, tak lupa menyiapkan sarapan. 

Di sekolah anakku dilarang membawa handphone sama sekali.  Bahkan di rumah pun tak ada handphone karena pada saat itu handphone belum populer.  Yang ada hanya telpon rumah saja.
Saya bekerja dengan tenang dari pagi hingga sore . Apalagi saat siang menjelang sore hari, ada meeting yang tak bisa ditinggalkan.   Walaupun suara handphone telah di “silent” terdengar getarannya.  Sempat saya mengintip sebentar.   Dari rumah.   Wah, tak mungkin rasanya menjawab karena meeting itu tak boleh terganggu oleh persoalan pribadi.

Pulang dari kantor, saya dengan rasa cape masuk ke rumah.  Melihat muka anak saya yang sangat cemberut, asam, saya segera  curiga apa yang terjadi dengan dirinya.

Terjadilah komunikasi yang membuatku sangat  “surprise” mendengarnya.
 “Nak, apa yang terjadi  dengan dirimu hari ini?” tanya saya.
“Mamah, apakah tadi tidak mendengar suara telponku?” setengah berbisik suaranya kepadaku.
“Dengar. Tapi mamah tidak bisa menjawab karena mamah ada di ruang meeting. Tak boleh ke luar sama sekali!”, kataku.
“Tapi kenapa tidak telpon ke rumah setelah itu?” tanyanya lebih lanjut.
“Maaf lupa”, jawabku singkat.
“Coba ceritakan apa yang ingin diceritakan kepada mamah”, kataku.
“Tidak, percuma.   Ketika aku sedang  butuh mamah, selalu mamah bilang sibuk, meeting lah, lupalah.  Sekarang tidak butuh lagi.  Mamah egois!” katanya menangis.

Begitu mendengar kalimat itu,serasa mendengar halilintar yang menggelegar.  Saya terpekur, terkejut dan kaget sekali.   Kehadiranku ketika dibutuhkan sungguh suatu hal yang sangat penting baginya.   Aku merasakan kegetiran, ketidaknyaman serta  kegelisahan dimukanya.  

Sadar bahwa arti “kehadiranku” pada waktu dan momen yang tepat sangat penting baginya telah kulewatkan . Hanya kekecewaan yang ada saat bertemu dengannya.   Aku tak mendapatkan kesempatan kedua kalinya.  

Akhirnya, saya mulai instropeksi, aku berjanji kepada diriku dan kepadanya “mamah akan selalu hadir di setiap saat engkau butuh”.   Komitmenku ini kupegang dan kubuktikan .   Dengan adanya komitmen itu dia merasakan kenyaman kembali. Hidupnya bersinar kembali dan ada rasa dukungan yang memang nyata kuberikan kepadanya setiap waktu diperlukannya.
Aku belajar ada lima macam “ketidakhadiran” ayah atau ibu atau kedua orangtua. Yang pertama orangtua yang lebih sering “meremehkan” atau tidak setuju terhadap pilihan anaknya daripada memberi kesempatan anaknya untuk mandiri dan bertanggung jawab.  Yang kedua anak merasa hanya boleh mengikuti jalan yang sudah ditentukan orangtuanya sehingga mereka merasa tak dianggap.
Yang ketiga orangtua yang sibuk mengumbar suasana hatinya, entah itu sering marah-marah atau terus bersedih dan bersikap negatif terhadap berbagai hal, juga akan membuat anak-anaknya memilih untuk mengubur dalam-dalam perasaan mereka; mereka merasa tidak didengarkan orangtuanya.
Yang keempat, jenis ketidakhadiran adalah orangtua yang mengalami kecanduan. Bukan hanya kecanduan obat, tetapi bentuk lain seperti menonton sinetron,  supersibuk bekerja. Yang kelima adalah  ketidak-adiran terbanyak adalah lewat gaya parenting yang serba membolehkan atau yang tidak konsisten dan tidak membiarkan anak menanggung konsekuensi atas perbuatannya sendiri.
Melalui “kehadiranku”,  anak akan merasa bertanggung jawab, dan percaya diri.  Oleh karena itu, berikan  hadiah terbaik lewat kehadiran  kita sebagai orangtua, lewat cinta tak bersyarat dan kelekatan emosional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...