3 Februari 2015

Perempuan Terseret dalam Kehidupan di "DOLLY"



Begitu gegap gempita, protes ada yang setuju dan ada yang tidak setuju saat  Pemerintah mencanangkan pembubaran lokasasi  "Dolly" di Surabaya.   Banyak petisi, gugatan, seruan kepada Pemerintah untuk bubarkan lokasi itu karena dianggapnya tempat itu sudah menjadi tempat yang maksiat, tempat yang tidak bermoral, tempat yang tidak mendukung pendidikan bagi anak-anak sekitar kampung itu.

Dari dasar pembubaran itu, Pemerintah mempunya segudang alasan untuk pembubaran tempat lokasi itu. Baiklah saat ini saya tak ingin mengulas tentang apakah pembubaran itu memang baik atau tidak, atau apakah sukses atau tidak.

Hanya melihat satu sisi dari seorang perempuan yang menjadi nara sumber dari tempat lokasi Dolly itu.  Perempuan muda yang berusia sekitar 18 tahun.   Terjerat hidupnya sebagai PSK karena kondisi ekonomi keluarga yang sangat mendambakan kecukupan dalam hidupnya.  Sayangnya, ayahnya yang seorang buruh, ibunya yang tak bekerja, dan banyak adik-adiknya yang menjadi beban hidup baginya, membuat anak ini harus mengorbankan diri untuk menjadi PSK.

Bukan pilihan hidup bagi Anita (nama samaran) untuk berkerja sebagai PSK.  Kehidupan ekonomi keluarga yang tak mencukupi menyebabkan dia terjerumus kepada tawaran seorang temannya untuk mendapatkan uang yang besar dengan cara yang mudah.   Baginya jalan yang cepat itu adalah jalan yang enak dan gampang.  Baginya moral, budaya timur, serta merugikan kesehatan dirinya , tak jadi halangan untuk tetap menjadi seorang PSK.

Kehidupan PSK bukanlah suatu kehidupan malam, yang indah, mulus, ceria, mudah untuk mendapatkan uang banyak setelah melayani kliennya.   Begitu banyak lika-liku kehidupan dalam lokasi Dolly yang sangat menyedihkan dan memilukan. Mulai dari mengubah "dandan" seorang Anita polos menjadi seorang Anita seronok, menggairahkan. Penampilan luar yang berubah, merubah tingkah laku dalam pelayanan, berpose secara sexy.   Dalam tangan seorang mucikari, hidupnya diatur untuk melayani pelanggannya. Juga hasil pelayanannya harus dikurangi untuk pembayaran kepada mucikari.

Saat proses penutupan "Dolly", dia memang dapat uang pesangon untuk membenahi dan membekali hidupnya dengan ketrampilan. Hidup normal adalah hidup tanpa keglamoran yang pernah dia rasakan.  Tak betah dengan "kemiskinan" yang terus menggelayut karena hilangnya mata pencaharian sebagai PSK.  Kembalilah dia menekuni profesi sebagai PSK walaupun Dolly telah lenyap. Tetap saja dibalik Dolly itu ada orang-orang yang memback untuk meneguhkan dirinya bekerja sebagai PSK.

Seorang PSK bekerja karena adanya pelanggan.  Menyoroti dan menyalahkan pekerjaan PSK dari satu sisi yaitu dari diri PSK itu sendiri bukanlah suatu hal yang adil.  Untuk keadilan dalam persepsi baik tidaknya suatu pekerjaan PSK, baiknya kita tak boleh melupakan faktor lain.  Siapakah pelanggan PSK?  Apakah ada sanksi hukum bagi pelanggan jika mereka tetap saja membeli jasa seorang PSK.   Pelarangan atau pembubaran PSK tanpa disertai dengan edukasi jelas dari pihak yang membeli adalah suatu hal yang tak bisa dipahami.

Perempuan-perempuan yang terjerat itu tak juga mampu melepaskan dirinya selama dia tak bisa memberdayakan dirinya untuk dapat diterima, diberikan kemampuan melebihi apa yang ada dalam dirinya. Penerimaan sosial di lingkungan masyarakat sekitarnya, haruslah menjadi bagian utama  dari persamaan gender.

Bersama kita sebagai masyarakat ikut menyumbang pemikiran bahwa tak seorang pun perempuan menginginkan hidupnya terseret terus dalam hidup kelam, gelap gulita.

Berikan solusi yang paling tepat, terutama mereka yang jadi pelanggan. Sadar dengan stop untuk melakukan pembelian sex kepada PSK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...