16 Mei 2015

Sepotong Kisah Cinta di Riuh Tangerang Selatan

Pagi tanggal 12 Mei 2015, aktivitas rutin berjalan seperti biasa.  Tak banyak hal kecuali pagi-pagi pukul 6.00 kegiataan dimulai dengan senam tera.   Selesai senam, pukul 7.00.  Saya kembali ke berbelanja keperluan dapur dan makan siang . 

Berbelanja setiap hari membuat saya kadang-kadang pusing . Tetapi untunglah menu di kepala sudah ada sehingga semua yang dibelanjakan sesuai dengan menu yang akan dibuat.  Langkah belanja pun diatur demikian rupa sehingga tidak perlu bolak-balik mengitari lapak-lapak.   Berurutan dengan apa yang mau dibeli, ayam, sayur dan bumbu. Terakhir beli buah-buahan.

Ketika pulang membawa belanjaan, saya sudah disambut oleh pembantu yang setia tiap pagi datang pukul 8.00.   Pembantu pun segera masuk ke rumah. Saya membawa belanjaan ke dalam rumah dan memasaknya. Secepatnya saya memasak karena tak ingin berlama-lama di dapur.  Gaya memasak saya adalah semua sayur dan ayam dicuci, bumbu disiapkan, baru kemudian dimasak.

Selesai masak, pembantu pun sudah selesai dengan pekerjaannya.  Saya sudah berjanji kepadanya bahwa saya ingin menengok ex-pembantu yang melahirkan putrinya yang ke-2.    Ach, sudah seminggu janji itu belum juga terpenuhi gara-gara badan saya yang kurang sehat.

Berjalanlah saya menuju ke rumah kontrakan ex pembantu , Ainun.   Jalannya naik ke atas menuju rumah-rumah petak yang tak beraturan gangnya.  Berkelok-kelok dan bertemu dengan gang sempit, lalu menyeberang jalan, menuju gang sempit lagi. Kanan-kiri saya melihat rumah-rumah kontrakan yang berjejer. Rumah kontrakan dari setengah bata, tanpa ruangan udara atau jendela, kamar tidur hanya satu ukuran sekitar 1x2 meter, di depannya langsung dapur .   Dua anak dengan ayah dan ibunya berada dalam satu ruangan sempit itu.

Ainun menggondeng bayi mungil kecil, masih kemerahan, kulitnya yang kecoklatan dan matanya yang tertutup rapat .   Saya sangat takjub dengan ketenangan bayi itu.  Kecintaan saya akan bayi mungil itu karena saya melihat ibunya yang dulu bekerja hanya selama 6 bulan, tetapi sangat rajin dan menjelang kelahirannya pun Ainun tetap bekerja.  Saya ngotot agar dia tak bekerja lagi 2 bulan sebelum melahirkan. Tapi dia memaksa bekerja sampai l/2 bulan sebelum melahirkan. Kekhawatiran saya terjadi apa-apa jika dia kecapean bekerja di tempat saya.  Jawabannya yang sangat polos dan singkat:  "Saya ingin bayi saya itu sehat maka saya harus bekerja.  Ada cukup uang untuk melahirkan."
google.com

Sepotong cinta yang ditorehkan Ainun untuk pekerjaannya itu membuat saya tak peduli dengan gerahnya udara di rumah kecil itu.  Begitu juga dengan bayi mungil yang sama tak menangis itu kelihatannya sangat peduli dengan keterbatasan orangtuanya.

Sepotong cinta itu membawa sesuatu yang berharga bagiku untuk menuliskan apa yang kulihat dan kualami adalah kecintaan Ainun kepada bayinya dalam kondisi yang sangat terbatas itu.

"A Happy place is where you love and are loved".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...